Rabu, 30 November 2011

SAJAK ANYAR

Bulan ukur jadi kalangkang dina peuting ngabangingik, jadi tumbal dina réwuan juta lampu nu moncorong. Beureum, konéng ngagindingan kota, sawaréh lalumpatan di jalan-jalan patakonan. Ting garerung bari ting sérépét meupeus lamunan. Langit beuki alum némbongkeun kaceuceub. Kuring beuki anteng ngelun-ngelunkeun haseup filter, sumarambah ngalimpudan jomantara. Nyéh, bulan seuri basa kuring ngajak sasalaman, ngajak ulin lulumpatan dina kecap-kecap nu ngawangun puisi…


Cenah hirup teh jalan nu pagaliwota

Sedeng cinta ngan saukur teteguhan

Urang bebas leumpang mapay nu can kasorang

Nyorangan atawa babarengan teu jadi sual

Di mana aya kacinta di dinya urang bakal ngalalana



Cenah hirup teh kabel nu pakuranteng

Sedeng cinta ngan sakadar layar monitor

Sing nyalse. Sing daria. Tumaninah.

Sabab jaga teuing kumaha boa

Di mana aya tunggara di dinya urang eureun ngalalana.



Cenah hirup ayeuna teh di dunya

Sedeng cinta teuing di mana ngancikna






Sit-uncuing ngelak maseuk kota

Nyelangan gerung kored mesin

Memeh pindah kana gurat jukut sejen



Handapeuneunana balawiri nu ngulon ngetan

Tuturubun ngudag jeung diudag waktu

“Bisi teu kasampeur nu lebah pengkolan!” ceuk hatena

Ngomong ka panon poe nu teu malire



Renghap ranjug dayeuh beuki sumpeg

Katarajang panyakit mengi sabab paru-paruna geus karancang

Dina tikorona menet reuhak peradaban

Ngagulung jeung teknologi

Jeung runtah



Handapeun sora Sit-uncuing manglaksa kacangcaya teu kungsi mulang

terus ngamalir ka rorotek jalan nu brasna ka poe kiamat






Da cinta nu saéstuna tara laas ku robahna mangsa

Rongkah, rohaka tumerap na dadasar kalbu

Nu bisa ngarungkup gunung,

ngojayan jaladri, meuraykeun jaladra



Urang suaykeun rupaning lalangsé

Urang halingkeun aling-aling



Wilujeng milangkala, jungjunan…



Karasa ayeuna mah Yan

lalampahan téh geus natrat

kajeueung di péngkolan



bulan béngras kénéh

nyaangan léngkah gejed urang

nu ngandelkeun gandeuang basajan



Yan bulan masih nu baheula

najan cahyana dicangkalak katunaan

wirahmana angger marengan réngkak urang

nu éstu rimbil ku harepan nu can kalakonan

KHZ.MUSTHOFA

Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 danEnsiklopedi Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbinganDimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Beliau selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafeiditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Begitulah, pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya,Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.***

Selasa, 29 November 2011

puisi ema

Waktu ibun maseuhan buruan
Aya sora anu jentre dina telepon
Anaking…
Syukur ari calageur mah
Eta nu dipenta ku ema beurang jeung peuting
Anaking….
Syukur ari aya dina keberkahan mah
Eta nu dipenta ku ema beurang jeng peuting
Anaking…
Syukur ari aya dina rohmat-Na
Ema ngarasa bagja
Anaking…
Hampura ema tina sagala kasalahan
Maklum sikep kolot ka anak
Ema hayang bebas tina sagala dosa ka anak
Anaking sakali, ema menta dihampura
Dungakeun ema sing sehat sing kuat nepi ka tutup ajal
Duh..
Ema… sawangsulna abdi nu kedah dihampunten ku salira
Abdi tos nyesahkan ti lahir dugi ka ayeuna
Abdi teu malire, abdi joledar kanu jadi indung
Duh…
Ema… indung abdi, hampunten abdi tina sagala kelepatan
Rumaos abdi janten anak anu tos ngaraheutkeun manah
Nagiweurkeun emutan
Duh…
Ema… keclakna cipanon abdi nu murudul lir ibarat dosa abdi ka ema…
Hapunten abdi…


Anaking..
Geulis anak bapa jeung ema
Ayeuna anjeun geus miheulaan
Nu jadi bapa jeung indung
Anaking…
Bapa iklas jeung rido
Anjeun geus dipundut kunu kawasa
Aajanan hate leutik mah
Bapa jeung ema kacida sedihan
ehm… anaking…
Anaking….
Geulis, bageur, lamun bapa jeung ema
Nempo kuburan anjeun anu masih keneh taneuh beureum
Dina kongkolak bapa jeung ema
Anjeun nembongan wae,
Anaking…
Anjeung keur lulucuna,
Anjeun nu sok jadi tamba bapa jeung ema,
Belenyehna imut anjeun sok
mawa kabungah ka bapa jeung ema
ehm.. anaking
Bapa iklas pisan anjeun geus dipundut tiheula kunu kawasa
Anaking…
Waktu peuting kamari hujan
Taneuh beureum luhureun anjeun jadi baseuh
Kitu deui cimata bapa jeung ema maseuhan pipi.
Anaking…
Sok ras inget waktu anjeun gumbira
Ulin, ngariung, waktu urang tiluan gogonjakan
Ayeuna tinggal sawangan
Najan kitu, raray anjeun, anaking, geulis sok nembongan bae…
Anaking…
Ku bapa jeung ku ema didungakeun,
Anjeun sing ditempatkeun di tepat anu suci,
Bapa jeung ema sabar
Nandangan cobaan ieu jeung iklas ditingalkeun ku anjeun
Cag.


Ari reumbey reumbeuy reumbeuy Bandung
ngareumbeuy dina jambangan
ari heureuy heureuy heureuy Bandung
heureuy ge jeung kasopanan.
Ari lilin lilin lilin Bandung,
geus hurung sok peok deui,
ari ulin ulin ulin Bandung
geus embung sok hayang deui.
Kapan abdi gaduh suweng,
kunaon teu dipongpokan,
kapan abdi keur baluweng
kunaon teu dilongokan…
Melak bawang di tanjakan,
sok sieun kembangna beureum,
melang dumeh paanggang,
sok sieun kagembang deungeun.
Kembang eros jeung jalaprang,
cantigi reujeung malati,
sanaos langka patepang,
pamugi ulah rek lali.
Supa mayang saboboko,
saparo dikaparakeun,
hayang mah tibareto,
ngan acan kalaksanakeun.
Kapiting katojo bulan,
kokosan bantun tilamping,
sapeuting asa sabulan,
ngantosan panutan anu sumping.
Pongporang di luhur gunung,
saung di handapeunana,
abdi melang kanu pundung,
kumaha mah nenganana.
Hayang iuh make payung,
kumaha mukakeunana,
hayang wawuh jeung nu pundung,
kumaha nyukakeunana…

Jumat, 25 November 2011

sajak sunda

PANGBALIKAN
Iuh, iuh gunung kuring

angin ulin dina embun-embunan

sawaktu-waktu kuring kudu nepungan

dumeh hirup halabhab cinta

di maranehna nya ayana
Aya sababna kuring tibelat

aya sababna kuring pegat

tapi nu ahir lain kaabadian

kakasih dina hate ngawih deui
Iuh,iuh gunung kuring

nyata, nyata tanda-tanda

ngabalungbung jalan hirup

nepi ka nyawa rek asup

ka maranehna kuring rek balik

ka maranehna kuring rek pamit
(Wahyu Wibisana, Ciawang ,28-7-56, tina Kanjutkundang)
LEUWI
sora nu tinggerendeng

teu weleh saheng

di leuwi aing
laut nu tan istirah

teu weleh motah

di leuwi aing
di leuwi aing

sagala teu weleh betah

sagala teu weleh motah
(Abdullah Mustappa, Tina Mangle No.217)
LALAKON I
Mangsa budak resep ulin

ngarucu bulan

mangsa rumaja resep wanoja

ngumbar asmara

nincak sawawa narik jangkar

ngambah sagara

geus kolot mah kari tapakur

isuk sore ngitung

umur!
(Hadi AKS, Tina Galura No.39)
LAGU HIRUP
Unggal poe unggal lengkah

nataan tanggal dina kalender

angger aya nu diarep-arep

ari umur melesat henteu kajeueung
Dina beja dina carita

teu weleh aya nu miheulaan

warna-warni kajadian. Teu kapireng

da puguh katalimbeng rusiah
Dina sakeclak cimata. Aya kasedih

nu teu kedal. Dina kongkolak

kahirupan. Aya nu miang

teu mulang deui
(Eddy D. Iskandar, 1992)
BONGAN KITU
Bongan kitu disebutna, puguh mega

dipapay di awang-awang: cek aing angin
bongan kitu karasana, nyerina raheut

tatamba ka saban tabib: cek aing ngimpi
bongan kitu digambarna, geulis kabina-bina

ditepungan unggal wayah: cek aing werejit
bongan kitu pandena, nyarita sorangan

ditataan di rs jiwa: cek aing eling
bongan kitu ayana, beda jeung nu lian

diguliksek dina kamus: cek aing ibadah
bongan kitu itunganana: Gusti
(Juniarso Ridwan, 1992)
PADUNGDUNG DANGDUT
“Hidup! Hidup! Hidup!” cek peureup mani baruleud ngahaja nonjokkan

angin nu keur tibra lebah liliuh caringin. Angin teh tibuburanjat nyusul

manuk nu ti heula ngagarapak tina dahan kana dahan. Barengong

angin jeung manuk mireungeuh mangpirang peureup tinggorowok

nyentakan beurang bayeungyang. Beurang tembong rerenjagan tuluy

kabur sakur pangacianana. “Hidup aing! Hidup aing! Hidup aing!”

cek peureup beuki tararik bari tembong aya seuneu ngabebela tina

sela-sela ramo. Ngadegdeg angin jeung manuk nenjo beurang beuki

soak gogobrot juuh kesangan. Keur kitu, panonpoe ngagilerkeun

cahayana nyorot peureup nu ngabring ti peuntas ditu “Aing ge hidup!

Aing ge hidup! Aing ge hidup!” cek peureup nu karek cunduk sarta

teu tata teu titi ujug-ujug ngajorag nu keur sesentak. Ger campuh

peureup jeung peureup nu sarua pada-pada sareuneuan ngabebela

Peureup diadu jeung peureup deui. Tinggorowok. Tingjarekok sora nu

patonjok-tonjok. Angin mabal. Manuk mabur. Beurang geheng. Getih

peureup boborot nyiram sampalan. Kacaturkeun tengah peuting,

disaksian imut bulan, dua peureup nu baradag sasalaman handapeun

tangkal caringin. Nu itu nyiwit ceuli saeutik. Nu ieu bet ngeleketek.
(Godi Suwarna, Kotakidul, 92, Galura No.16)

sisindiran sunda 4

Ekspres Bandung – Surabaya,
Digantolan kikinciran,
Neda ma’lum ka sadaya
Abdi bade sisindiran
Kalayar buah kalayar
Lebet ka cabe mah henteu
Lumayan tambi lumayan
Lebet ka sae mah henteu
Hanggasa bawa ti gunung,
dipipit bawa di rawa
Kasaha nya sumalindung
Nitipkeun raga jeung nyawa
Boboko ragrag ti imah
Ninggang kana pileuiteun
Nya bogoh ulah ka semah
Ari balik sok leungiteun
Leuleupeutan leuleumeungan
Ngarah kekejoanana
Deudeukeutan reureujeungan
ngarah tetenjoanana
Itikurih Bentang Sinar
Maen di lapang Cicendo
Nyeri peurih kunu anyar
matak henteu hayang nenjo
Majar Maneh cengkeh koneng
Kulit Peuteuy dina nyiru
Majar maneh lengkeh koneng
Kulit beuteung mani nambru
Pipiti di bungawari
Tetenong dibobokoan
Lalaki jaman kiwari
hade omong pangoloan
Meuleum manggu tengah poe
Dicokelan kayu api
Malem minggu ninggang sue
Diapelan aki-aki
Pileuleuyan cangkang beas
Huut sajeroning kejo
Pileuleuyan urang ikhlas
Imut sajeroning nenjo
Saninten buah saninten
Dibawa ka parapatan
Hapunten abdi hapunten
bilih aya kalepatan
Pajar maneh kangkung panjang
sihoreng gaplek teh sampeu
Pajar maneh jangkung lenjang
sihoreng pendek bureuteu
Hayang teuing buah gedong
gedong buah Indramayu
Hayang teuing kuring ngendong
ngendong di randa nu ayu
Hayang teuing boga leuit
boga leuit keur katiga
Hayang teuing boga duit
boga duit keur Perceka
Naha cau teu buahan
sihoreng comro teh lada
Saha itu nu janggotan
sihoreng Mang Jojon tea
Mawa obor reujeung hayam
nyieun kupat make ketan
wilujeng boboran siam
hapunten samudaya kalepatan

Metallica dikalapaan
megadeth diragaji
urang meunang memetalan
asal ulah poho ngaji
majar maneh mawa pacul
hanjakal kalah ka ngejo
majar maneh anak gaul
hanjakal waosna hejo

aya hiji balon rek bitu
sabab kagencet ku buhaya
naha urang sunda teh kitu
mopohokeun kana budaya
aya jalma teu boga banda
sadayana tos dipasihkeun
angklung teh ti tatar sunda
naha urang bet mopohokeun
ulin ka laut banda
naha jadi nalangsa
kuring teh urang sunda
kuring nyaah kana basa
di kebon sato aya panda
panda ngahakan kangkung
budayakeun budaya sunda
bilih lapur kawas angklung
kamari ulin ka samarinda
trus nyimpang ka bima
kuring mah da urang sunda
nyebat ka indung teh ema
diluhur aya bandera
bandera gambar panda
naha kuring kudu era
pan ieu teh basa sunda
poe salasa tumpak kuda
kuda paninggalan walanda
urang mah urang sunda
atuh pake basa sunda
kangkung diasakan ku banda
raos pisan rasana
angklung teh asli ti sunda
kuring nu bogana
aya pawang buhaya
pawangna ulin ka persia
kudu nyaah kana budaya
bisi dicolong ku malaysia
hayang ulin ka gunung gede
di gunung aya buhaya
urang sunda sing harade
sing nyaah kana budaya
ulin ka jalan juanda
sawaktos bulan puasa
mun ngaku urang sunda
tong poho kana basa
aya huma dekeut situ
eta huma nu bogana panda
naha urang sunda teh kitu
alim nyarios ku basa sunda
Aya jalma leumpang ti peuting
Manehna teh balik nyaba
Urang sunda kudu eling
Tong hirup sakaba-kaba
Lamun urang ka Cikolé
moal hésé tumpak kahar
Lamun urang boga gawé
moal hésé barang dahar
Lamun urang ninun kantéh
ulah resep maké poléng
Lamun urang leutik kénéh
ulah resep ngomong goréng
Saninten buah saninten
Panganten iring-iringan
Hapunten abdi hapunten
Bade ngiring sisindiran
Aya listrik di masigit
Caangna kamana-mana
seueur istri jangkung alit
Acingna kamana-mana











sisindirsn sunda 3

Pantun Sunda / Sisindiran yang Mengandung Pesan Moral
Colenak dikalapaan
Aya anak euweuh bapaan
Salawe dua puluh lima
Mobil Sedan Cetna Hejo
Awewe jaman ayeuna
Bisa dandan teu bisa ngejo
Saninten buah saninten
Dibawa ka parapatan
Hapunten abdi hapunten
Bilih aya kalepatan
Pileuleuyan cangkang beas
Huut sajeroning kejo
Pileuleuyan urang ikhlas
Imut sajeroning nenjo
Pantun Sunda / Sisindiran yang Lucu dan Berisi Lelucon
Manuk gagak macok kupat
Kecok deui kecok deui
Diwedak reujeung disipat
Dekok deui dekok deui
Cikaracak ninggang batu
Laun laun jadi legok
Tai cak cak kanu huntu
Laun laun nya di lebok
Jaka Sembung make bedak
Teu nyambung dak
Pantun Sunda / Sisindiran yang Berbau Seks (Jorang)
Aya roda na tanjakan
Katinggang ku pangpun jéngkol
Aya rangda gogoakan
Katinggang ku hulu kohkol
Meuli daging ka ciawi
Jalana ka singaparna
Judang jeding ka salaki
Teu di bere eusi calana
Es keleneng gula batu salawean
He’es jeung si eneng jam satu ….

puisi sunda

duh rasa..
gulidag nu rosa teu kasubadanan ku diri nu laip

hampura mun anjeun kageurih
ku pucuk harepan nu teu surti
ku diri nu teu daek ngarti
ku rasa nu sumarambah
malidkeun jatining diri



sanajan bulan tumunggal
caangna mah bati nu hegar
bangun nu teu ngemu tunggara

sanajan bulan nyorangan
teu risi ngambah sagara peuting
nganti bentang nu baris marengan
nganteur nyorang simpena peuting
nepi ka balebat nyampeur
nyinglarkeun kahieum ati

Jeujeur harupat tuluy ngipisan
indung suku tuturut peot
awak jadi budak
waragad teu walakaya

geuning teu di kawit teu di pungkas
kokojayan dina lantaran
sebrot hareudang hiliwir angin
ngalengkah numut sarangenge

los kaditu los kadieu
ngarenghap tuluy hah heh hoh
mmm, ngajerit diudag seuri
Nya ayeuna mah ayeuna...





peuting ieu,
anjeun ngajanggelek na poekna hate
meupeus keuyang rasa nu mancawura
paguliwota na heureutna dada

ambek nyedek tanaga midek
napsu ngagulidag taya liang moncor
antukna ngaguruh nutupan mamaras
tuluy ngilang tanpa laratan
nyesakeun diri nu nyileuk taya karep

tug nepi anjeun nyaangan
mapaesan jemplingna peuting
maturan bari ngelingan
ngajak balik ka na pitrahna

muga pareng isuk jaganing geto..



Layung di beulah kulon geus nembongan
Tandana srangenge geus waktuna nyalindung ditukangeun gunung
Hawa sore beuki karasa
Angin peuting geus ngadagoan
Naha kuring bet inget ka wanci haneut moyan?

Di lebah buruan aya kembang kanyaah anu keur meujeuhna ligar
Daunna hejo ngemploh matak betah mun ngiuhan
Waktu panon poe geus manceran
Eta kembang teh bet jadi leugit teu puguh juntrunganana

Kuring ngan nyekel kembang kanyaah anu murag
Dibawa diteundeun dina kantong katresna
Ayeuna wanci geus sareupna
Kuring moal bisa manggihan waktu beurang anu tadi

Sariak layung pang nepikeun ieu tresna
Panon poe pang nepungkeun deui beurang anu endah
Angin peuting wayahna pang nepikeun ieu asih

Ayeuna geus waktuna ngitung bekel
Ayeuna geus waktuna mapagkeun alam peuting
Ayeuna geus waktuna ngurus diri
Diri anu lakomot ku polah anu teu guna



wanci yuswa tunggang gunung
sagala nu ngarandapan narembongan
nyisit melit kana ati
matak eungap kana ambeukan

wanci yuswa tunggang gunung
sagala kahayang narembongan
bongan diri geus teu uni
nyalimpang kana diri sorangan

wanci yuswa tunggang gunung
kahoyong tinggal kahoyong
hoyong nyorang waktu katukang
matak mawa kasalempang



Rekah malam yang tumbuh masih meruncingkan batinku yang dingin
Memunguti hikmah dari setapak isyarat menuju surau-surau ketabahan
Kau menjelma tangan-tangan gaib yang menutup pintu-pintu keluh kesah
Mengalirkan arus cahaya yang merunduk di reranting keheninganku
Menyimpan ziarah doa-doaku pada garis-garis panjang kepedihan

Lentik jarimu yang mempermainkan senja, masih saja menguji tafakurku
Bertahun melupakanmu dan kau tak henti menyimpan kejernihan hatimu

Lalu aku dzikirkan sunyi pada lembaran langitmu yang maha sepi
Senja menyusun rindu yang menyala dalam rakaat kesendirianku
Hujan masih kau susun dan aroma bismillah merambah akar imanku
Kau uraikan rambut hitammu pada sudut-sudut mata hatiku yang letih
Sebelum akhirnya kesedihan perlahan memudar dalam sujud kesadaranku

Lentik bulu matamu yang memilah musim, masih saja menguji ibadahku
Bertahun meninggalkanmu dan kau tak henti menunggu kejernihan imanku



Najan liwung kakurung tungtung
Najan muyung kakurung layung
Jung sumalindung kanu AgungDuh, Gusti wiati pangarti
Nu sajati mariksa ati
Nu rancage ngawasa simpe hate
Nu ngatur sesa umur
Nu suci ngaraksa wanci
Salawasna hirup jeung pati moal pahili

Najan gumulung digelung untung
Najan nangtung manggung di gunung
Jung sumalindung kanu Agung

Duh, Gusti malati sanubari
Anging Anjeun nu surti
hariring kuring
Boh eunteup dina keukeup raheut
Boh eunteup dina keukeup geugeut
Salawasna teuteup Anjeun tuhu dina puhu kalbu…







layung koneng namperkeun katineung
duriat geus mangsana manjangan, jungjunan
nyangsaya nyarandekeun hate
teu wasa, ngelemeng kasaput simpe
ngagerihan, muntang hariwang

didieu pisan, cihujan nyangkaruk dina lamunan
naha imutna bet teu raat-raat
rumingkang mawa napak tilas
mangsa dua rasa ngagalura
pirang-pirang kalangkangna
miripis mungkas tembang girimis

gulinggasahan, cuang cieung ngarasa keueung
nedunan katresna, ngagugulung kasono
kamemelangan…

layung koneng namperkeun katresna
namper wening jadi eunteung katineung
aya duriat nu manjangan, jungjunan
beueus rasa ku kumelip kiceup kaasih nu lawas
mugia manjang, mugia salawasna aya dina ridho Gusti







langit numendung kalimpudan ku mega hideung
angin ngahiliwir nyereset kana ati
matak ngageuingkeun lelembutan diri
ngan hiji gusti nuwidi numaha agung
balebat fajar ti wetan nyingraykeun hideungna mega peuting
batara alam nu endah mukakeun gapura sagara hirup
nubaris jadi lalakon hirup kumalayang dialam dunya









peurih
Geter geter rasa numawa katresna
nganjang kana puserna kalbu
netep nanceb nurih kana sajeroning rasa
amparan kahayang ngolebat
nyipta manisna rasa kadeudeuh
sakapeung mindah jadi cimata nungumbara
ngalengkepan rasa kuciwa







Sumiratna cahaya sarengenge
nyaangan dada nu rangsak
karasa haneutna susuganan
garing tatuna
balas di sasaak rasa

Manuk ricit di sarada
siga nu tausyiah
ngupahan nu lara tunggara

Ceuk manuk
sing sabar....sing sabar...
kuring kur bisa mesm bari ngalimba















Lebah pertelon pasosore aya teuteup jeung imut
Teuteup nu matak nembus jajantung
Imut nu ngelet matak nyeredet kana hate
Di lebah dinya rasa sono patepung deui

Lebah pertelon silih teuteup ku ka deudeuh
Lebah pertelon silih baledog imut ka asih
Lebah pertelon silih patarema kaanyaah
Lebah pertelon silih mantengkeun katresna
Lebah pertelon teuteup jeung imut anjeung matri dina ati

Teuteup jeung imut nu eta moal bisa ditepungan deui
Geus kalimpudan ku waktu

Teuteup jeung imut nu eta geus ngancik dina ati
Anu moal bisa leungit deui

Ibun harepan
kamari rundayan katineung rek dipalerkeun
bongan mawa eurih
nu ngageuri kana ati
ngabudalkeun kingkin
jeung rambisakna rasa

tadi,
ku naon salira ngaririhan deui
mawa ibun sanajan sakeclak
nu nyirungan deui katineung
nu ngahaja rek disinglar

duh gamparan,
guligahna rasa
hamo bisa disidem deui..